Saturday, June 15, 2013

Ingsun




Hasrat..
Mendengar yang merdu, mengenyam yang lezat, meraba yang halus, mencium yang harum, memandang yang serba indah..

Siwa saja yang begitu perkasa masih bertapa, padahal bumi pertiwi tengah porak poranda. Kau perlu tahu, Siwa lah dewa penghancur. Segalanya perlu dihancurkan agar bisa kembali ke penciptaan, menuju permulaan.

Uma saja yang punya segalanya pun masih berkekurangan, padahal kepala Siwa sudah di kakinya. Kau perlu tahu, menjadi pendamping pertapa pun sepatutnya menahan hasrat. Segalanya perlu ditahan agar tak berlebih-lebihan.

Kau tahu akibatnya?

Kamajaya rela mati terbakar oleh hasrat Uma, memang tugasnya sebagai penghantar hasrat. Hormatnya pada Sang Penghancur tak mampu menangkal kobaran mata Siwa. Ia rela hangus demi kewajiban, tak ia pikirkan nasib Kamaratih.

Kamaratih sudah tentu hancur, karena hasrat dan cinta sudah pasti tak terpisahkan. Melompat ke sukma Kamajaya pun ia tak takut, meskipun harus dibayar dengan regangan nyawa. Turun ke dunia tak jadi masalah bagi mereka, dunia yang penuh hingar bingar kemaluan. 

Tak terkira rasanya mereka terpisahkan sekat badan, Lingga dan Yoni. Hingga malam suci, malam asmaragama..


Ada kutipan Syair Mata Bayi karangan Rendra, begini bunyinya:


Aku merindukan mata bayi

setelah aku dikhianati mata durjana.

Aku merindukan matahari

karena aku dikerumuni mata gelap.

Aku merindukan mata angin

karena aku disekap oleh mata merah saga.


Wahai, mata pisau!

Mata pisau dimana-mana.

Mata batin! Mata batin!

Hadirlah kamu!

Kedalaman yang tak terkira.

Keluasan yang tak terduga.

Harapan di tengah gebalau ancaman.


Yah, bayangkan saja aku membacanya untukmu..
agar kau tak jadi bahan eksploitasi atas dasar ekspresi.  

"Mempertemukan dan memisahkan; menyatukan dan menguraikan. Mabhanda bheda; mengikat dan melepaskan. Seperti bermain layangan, mengulur dan menarik, tau darimana bayu bertiup; pada saatnya bayu pulalah yg memisahkan purusha dgn pradhana; tp kesadaran tak sama layang putus, tubuh tak sama persis dengan tali; metafora tak pernah persis sama dengan kenyataan. Airlangga. Shiwa rajanya para pertapa pun masih menggelar tapa; matahari saja masih bekerja; laut saja masih gelisah; gunung saja masih memendam panas di dadanya; bayu saja masih menempuh arah; aku?"

"Tak setiap yg memujanya akan disinggahi, dan tak setiap yg tak memujanya tak akan disinggahi, itulah rahasya. Ia benar-benar hidup, pertemuan hanya sesaat; tp apalah sesaat dan apalah artinya lama, bg sebuah kedalaman; tak bs dipelajari, tak bs dinanti. Bila mereka sedang bekerja, maka mulailah dirasakan hal halus di dalam dan luar diri, itulah suksma." 

No comments:

Post a Comment